Mengapa Kebanyakan Orang Indonesia Mudah Sekali terpapar Hoax
Mengapa banyak orang
Indonesia yang mudah percaya dengan informasi-informasi hoax dan mengapa pula
penyebarannya begitu masif meski kebenarannya belum dapat dipastikan?
Menurut pandangan
psikologis, ada dua faktor yang dapat menyebabkan seseorang cenderung mudah
percaya pada hoax.
“Orang lebih cenderung
percaya hoax jika informasinya sesuai dengan opini atau sikap yang dimiliki.
Misal seseorang memang sudah tidak setuju terhadap kelompok tertentu, produk,
atau kebijakan tertentu. Ketika ada informasi yang dapat mengafirmasi opini dan
sikapnya tersebut, maka ia mudah percaya,” ujar Laras Sekarasih, PhD, dosen
Psikologi Media dari Universitas Indonesia.
Hal tersebut, menurut Laras,
juga berlaku pada kondisi sebaliknya. Seseorang yang terlalu suka terhadap kelompok,
produk, dan kebijakan tertentu, jika menerima informasi yang sesuai dengan apa
yang ia percayai, maka keinginan untuk melakukan pengecekan kebenaran terlebih
dahulu menjadi berkurang. Secara natural, perasaan positif akan timbul di dalam
diri seseorang ketika ada yang mengafirmasi apa yang dipercayai. Perasaan
terafirmasi tersebut juga menjadi pemicu seseorang dengan mudahnya meneruskan
informasi hoax ke pihak lain.
Adapun beberapa faktor utama
menurut saya mengapa hoax di Indonesia sangat mudah dipercaya :
1. BERWAWASAN SEMPIT
Orang yang berwawasan sempit
tentu tidak akan ragu dalam mempercayai sesuatu. Orang berwawasan luas berarti
orang itu terus mencari tahu segala hal, dan tidak berhenti hanya di satu
tulisan, atau berita yang meragukan tanpa mencari tahu terlebih dahulu.
Orang berwawasan luas jelas
akan mencari tahu kebenaran suatu berita, kemudian mencari nya di situs-situs
lain, mencari tahu mengapa itu bisa terjadi? Dan membuat kesimpulan dari hasil
pencarian tersebut.
2. TIDAK ADA STANDAR FILTER
DIDALAM OTAK
Kebanyakan orang Indonesia
tidak ada "filter" di dalam otak mereka. Seperti lazimnya masyarakat
di banyak negara-negara berkembang, Orang Indonesia tidak menerapkan prinsip
kehati-hatian dalam "menyaring" segala sesuatu. Biasanya
ketidakmampuan itu dibarengi dengan kelumpuhan bernalar (berlogika) yang
merupakan hasil dari otak yang tidak diasah.
Otak ibarat pisau, jika
pisau tidak diasah dan dibiarkan berkarat, pada akhirnya pisau akan tidak tajam
lagi. Otak pun begitu, kebanyakan orang Indonesia tidak mengasah ketajaman
berlogika (yang harusnya tiap saat diasah) sehingga membuat otak tidak tajam
(tumpul) dalam berlogika dan menghilangkan fitur "saringan" didalam
otak.
Saringan ini berfungsi untuk
memilah-milah mana yang fakta, mana yang bukan, mana yang hoax, mana yang
bukan, dan hanya bisa diaktifkan jika seseorang menerapkan "filter"
yang kuat yang merupakan hasil dari olah pikiran yang logis yang tidak gampang
mempercayai segala sesuatu yang belum jelas.
Jika tidak ada filter, tentu
akan membuat otak mudah menerima apa saja yang sesuai dengan apa maunya bahkan
walaupun hal itu jelas-jelas salah, negatif, atau sesuatu yang jauh dari
fakta.
3. MENGIKUTI NARASI/SENTIMEN
TERTENTU
Maksudnya disini adalah
fanatisme. Percaya atau tidak, fanatisme sudah merupakan bagian alamiah dalam
diri masyarakat Indonesia. Jika tidak fanatis, berarti bukan orang Indonesia.
Entah itu fanatik kepada
agama, negara, atau fanatik kepada kejahatan (kedengarannya konyol). Tapi yang
jelas, berbeda dengan orang Barat, fanatisme memang melekat bukan saja pada
masyarakat Indonesia, tetapi kepada masyarakat yang ada di negara-negara
berkembang.
Fanatisme bisa dihapuskan
seiring berjalannya waktu dengan terlibat dalam berbagai aktivitas ilmiah yang
sehat di kampus, terlibat dalam berbagai diskusi, atau dari usaha invididu
sendiri yang tidak mudah percaya berbagai berita Hoax.
Jika anda paham sejarah, ada
alasan mengapa masyarakat Barat yang peradabannya maju saat ini tidak fanatik
dan lebih menggunakan akal yang logis. Itu dikarenakan karena mereka telah
ditempa sejak Abad ke 15 melalui gerakan pencerahan Rennaissance yang fokus
mempelajari dan mendalami ilmu pengetahuan dan sastra.
Itulah sebabnya kini
masyarakat Barat bersikap logis dan bahkan skeptis terhadap segala sesuatu yang
meragukan, dan membuat mereka lebih menggunakan nalar mereka ketimbang mudah
percaya begitu saja. Orang Indonesia tidak mengenal "Pencerahan Ilmu
Pengetahuan" dan tidak terbiasa dengan sains, sehingga hanya bisa berkutat
mengikuti narasi atau sentimen tertentu yang "memuaskan" hasrat
pribadinya.
4. OTAK TIDAK DIISI DENGAN
ILMU
Kebanyakan masyarakat kita
sejak awal tidak menyukai ilmu, sains, dan hal-hal yang rumit dan berat. Sejak
lahir orang Indonesia tidak diajarkan bagaimana mengolah nalar yang baik,
bagaimana menjadi orang yang menghargai dan menerapkan ilmu. Bahkan walaupun
sudah puluhan tahun mereka duduk di bangku sekolah, bukan berarti orang
Indonesia jago dan suka sains dan ilmu pengetahuan.
Mereka lebih suka hal-hal
ringan, remeh-temeh, tak berbobot, tak berisi, dan hal-hal yang pokoknya membuat
mereka senang tanpa mengisi otak mereka dengan ilmu. Akibatnya, masyarakat
Indonesia sekarang menjadi masyarkaat "santai", tanpa beban, tidak
terlibat dalam penelitian-penelitian serius terkait dengan sains (hanya sedikit
saja itupun mereka yang berkecimpung dibidang akademis).
Kebanyakan masyarakat kita
hanya mementingkan ilmu akhirat semata tanpa sedikitpun mendalami ilmu duniawi
sehingga otomatis membuat peradaban mereka (khususnya peradaban Islam) mundur
jauh ke belakang dan Indonesia hanya menjadi masyarakat yang mengkonsumsi dan
menikmati tanpa memproduksi dan terlibat dalam inovasi.
Jika anda duduk di
warung-warung kopi atau dimanapun di Indonesia, kebanyakan mereka hanya
berbicara hal-hal yang tidak berbobot, bahkan walaupun mereka mahasiswa sekalipun.
Beda sama di Barat dimana
mereka duduk bersama, serius, dan terlibat dalam berbagai diskusi dan debat
bahkan diluar kegiatan kampus sekalipun. Menjadi spiritualis dan dekat dengan
Tuhan silahkan, tetapi orang Indonesia tanpa sadar, mengabaikan betapa
pentingnya ilmu pengetahuan dan sains di dunia, dikarenakan tidak ada ilmu
didalam otak mereka. Tentu pengecualian bagi mereka yang berawawasan luas, para
akademisi, profesor, dan mereka yang terlibat dalam berbagai diskusi yang
ilmiah dan bermanfaat. Dari sisi
spiritual jelas orang Indonesia sudah "kenyang" dengan kenikmatan
spiritual yang tidak didapatkan di negara-negara Barat, tapi dari sisi akal dan
otak, ada "kekosongan" yang luar biasa yang tidak bisa ditawar-tawar
lagi kecuali jika mereka terbuka terhadap segala hal dan mempelajari segala
sesuatu didunia.
Kompas.com
Komentar
Posting Komentar