Penyelesaian Konflik Dalam Organisasi Perusahaan PT.Sampoerna
Tentang
PT.Sampoerna
Ketika Putera
Sampoerna mengumumkan menjual nyaris seluruh saham HM Sampoerna miliknya kepada
Philip Morris Indonesia pada 2005 silam, banyak orang tercengang. Pasalnya,
generasi ketiga keluarga Sampoerna itu menjual 97% kepemilikan di perusahaan
senilai Rp18,5 triliun. Kini, keluarga Sampoerna tak lagi mengurusi bisnis
asap.
Lewat bendera
Sampoerna Strategic, Putera menggunakan dana tersebut untuk menggarap sektor
properti, infrastruktur, dan agrobisnis.
Akan tetapi,
corporate culture yang ditanamkan keluarga Sampoerna di HM Sampoerna masih
terus bertahan hingga kini. Bahkan, Martin King, presdir PT HM Sampoerna Tbk.,
yang berasal dari Philip Morris, pernah berseloroh tidak akan mengubah budaya
perusahaan. “Budaya Sampoerna sudah kuat dan berhasil membuat perusahaan itu
tumbuh besar. Jadi, buat apa diubah?” cetusnya.
Setidaknya,
Sampoerna menggembleng karyawannya dengan budaya adaptif, inovatif, dinamis,
berani mencoba, friendly, dan pantang menyerah. Pernah, suatu kali, hampir
seluruh staf andal Sampoerna dibajak oleh kompetitor. Namun, berkat sistem
kerja, performa Sampoerna saat itu tidak menunjukkan penurunan yang signifikan.
Sementara itu, hadirnya Philip Morris juga membuat budaya kerja Sampoerna lebih
tertata, rapi, dan teratur. Mulai dari sistem pengelolaan karyawan, peraturan
perusahaan, mekanisme kontrol dan produksi, pemasaran dan penjualan, sampai how
to do business.Di bisnis rokok, gebrakan Putera Sampoerna terus diingat
sepanjang masa dengan inovasi A Mild, rokok rendah tar dan nikotin, di tengah
ramainya pasar rokok kretek. Sadar bahwa kompetisi tak berhenti, Sampoerna
meluncurkan U Mild, rokok rendah tar dan nikotin kelas 2, di bawah A Mild.
Teranyar adalah kemunculan A Volution, rokok rendah tar dan nikotin dengan
bentuk slim.
Meski telah
berusia senja, perusahaan makin matang. Per akhir 2008, laba bersih perusahaan
naik 7,4% menjadi Rp3,89 triliun jika dibandingkan setahun sebelumnya yang
Rp3,62 triliun. Menurut pihak manajemen, kenaikan laba bersih ini didukung oleh
peningkatan penjualan hingga 16% sepanjang 2007–2008, dari yang semula Rp29,79
triliun menjadi Rp34,68 triliun.
Sejatinya,
sejarah dimulai ketika Liem Seeng Tee mendirikan perusahaan rokok bernama
Handel Maastchapij Liem pada 1913. Kesempatan muncul pada awal 1916 ketika Liem
Seeng Tee membeli berbagai jenis tembakau dalam jumlah besar dari seorang
pedagang tembakau yang bangkrut. Sejak itu, Liem Seeng Tee dan Tjiang Nio,
istrinya, mencurahkan seluruh tenaganya untuk mengembangkan bisnis tembakau.
Seiring berjalannya waktu, nama perusahaan berubah menjadi Hanjaya Mandala
Sampoerna. Sampai kini, PT Hanjaya Mandala Sampoerna Tbk. terus tumbuh dan
tumbuh.
DINAMIKA
ORGANISASI
Organisasi
berasal dari kata organon dalam bahasa Yunani yang berarti alat. Pengertian
organisasi telah banyak disampaikan para ahli, tetapi pada dasarnya tidak ada
perbedaan yang prinsip. Di dalam sebuah organisasi tentu akan terjadi suatu
dinamika dimana menuntut perhatian pengurus dan anggotanya.
Dinamika
organisasi yang harus dikelola secara cerdas dan konstruktif ialah terletak
pada konflik yang sering timbul di suatu organisasi, karena dalam kenyataannya
konflik tidak selamanya bersifat destruktif akan tetapi akan mampu meningkatkan
produktifitas suatu organisasi apabila dapat di atasi dan dikelola dengan baik.
Sebuah
organisasi, tentu tidak akan pernah menjadi besar jika anggotanya hanya
berfikir
bahwa
keberadaanya dalam organisasi tersebut hanya didasarkan atas kesamaan nasib
belaka. Tentu
dalam perjalananya anggota organisasi yang seperti itu haruslah melakukan
redefinisi
atas eksistensinya tersebut.
Fungsi
Dinamika Organisasi
Dinamika
organisasi merupakan kebutuhan bagi setiap individu yang hidup dalam sebuah
kelompok. Fungsi dari dinamika organisasi itu antara lain:
1. Membentuk
kerjasama saling menguntungkan dalam mengatasi persoalan hidup. (Bagaimanapun
manusia tidak bisa hidup sendiri tanpa
bantuan orang lain.)
2. Memudahkan
segala pekerjaan. (Banyak pekerjaan yang tidak dapat dilaksanakan tanpa bantuan
orang lain)
3. Mengatasi
pekerjaan yang membutuhkan pemecahan masalah dan mengurangi beban pekerjaan
yang
terlalu besar sehingga selesai lebih cepat,
efektif dan efesian. (pekerjaan besar dibagi-bagi sesuai
bagian kelompoknya masing-masing / sesuai
keahlian)
4.
Menciptakan iklim demokratis dalam kehidupan masyarakat
(setiap
individu bisa memberikan masukan dan berinteraksi dan memiliki peran yang sama
dalam masyarakat) Semakin besar ukuran suatu organisasi semakin cenderung
menjadi kompleks
keadaannya.
Kompleksitas ini menyangkut berbagai hal seperti kompleksitas alur
informasi,
kompleksitas komunikasi, kompleksitas pembuat keputusan, kompleksitas
pendelegasian wewenang dan sebagainya.
Sebagai
contoh, seorang pimpinan yang ingin memajukan organisasinya, harus memahami
factor-faktor apa saja yang menyebabkan timbulnya konflik, baik konflik di
dalam individu maupun konflik antar perorangan dan konflik di dalam kelompok
dan konflik antar kelompok.
Dinamika
organasasi mencangkup :
· Konflik
Konflik biasanya timbul dalam organisasi
sebagai hasil adanya masalah-masalah komunikasi, hubungan pribadi, atau
struktur organisasi. Karakteristik-karakteristik kepribadian tertentu, seperti
otoriter atau dogmatis juga dapat menimbulkan konflik.
· Strategi
Strategi yang
kita terapkan agar organisasi dapat memecahkan masalah yang dihadapinya dengan
baik sehingga berdirinya organisasi
tersebut membawa manfaat yang besar bagi kemajuan masyarakat, bangsa dan
negara. Dalam suatu perusahaan misalnya suatu keberhasilan proyek juga
tergantung dari strategi organisasi mereka untuk memanfaatkan sumber daya yang
ada secara efektif dan efisien.
· Motivasi
Motivasi
berasal dari bahasa latin movere yang berarti dorongan atau menggerakkan. Dalam
kehidupan motivasi memiliki peranan yang sangat penting.
Sebab,
motivasi adalah hal yang menyebabkan, menyalurkan, dan mendukung perilaku
manusia, sehingga mau bekerja giat dan antusias mencapai hasil yang optimal.
II. Strategi
perusahaan dalam menyelesaikan suatu konflik organisasi
1.Definisi Konflik
Banyak
definisi tentang konflik yang diberikan oleh ahli manajemen. Hal ini tergantung
pada sudut tinjauan yang digunakan dan persepsi para ahli tersebut tentang
konflik dalam organisasi. Namun, di antara maknamakna yang berbeda itu nampak
ada suatu kesepakatan, bahwa konflik dilatarbelakangi oleh adanya
ketidakcocokan atau perbedaan dalam hal nilai, tujuan, status, dan budaya.
Definisi di bawah ini menunjukkan perbedaan-perbedaan dimaksud.Permasalahan
atau konflik yang terjadi antara karyawan atau karyawan dengan atasan yang
terjadi karena masalah komunikasi harus di antisipasi dengan baik dan dengan
system yang terstruktur. Karena jika masalah komunikasi antara atasan dan
bawahan terjadi bias-bisa terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, misalnya mogok
kerja, bahkan demo.
Sehingga
untuk mensiasati masalah ini bisa dilakukan dengan cara:
- Membentuk suatu system informasi yang
terstruktur, agar tidak terjadi kesalahan dalam komunikasi. Misalnya, dengan
membuat papan pengumungan atau pengumuman melalui loudspeaker.
- - Buat komunikasi dua arah antara atasan
dan bawahan menjadi lancer dan harmonis, misalnya dengan membuat rapat rutin,
karena dengan komunikasi yang dua arah dan intens akan mengurangi masalah di
lapangan
· -
Beri pelatihan dalam hal komunikasi kepada atasan dan karyawan,
pelatihan akan memberikan pengetahuan dan ilmu baru bagi setiap individu dalam
organisasi dan meminimalkan masalah dalam hal komunikasi
Biasanya
masalah timbul karena lingkungan yang kurang kondusif di suatu perusahaan.
Misalnya, kondisi cahaya yang kurang, atau sirkulasi yang kurang baik, dan
temperature ruangan yang tinggi sangat mungkin untuk meningkatkan emosi
seseorang, jadi kondisi dari lingkungan juga harus di perhatikan
2. Pandangan
Terhadap Konflik
Terdapat
perbedaan pandangan terhadap peran konflik dalam kelompok atau organisasi. Ada
yang berpendapat bahwa konflik harus dihindari atau dihilangkan, karena jika
dibiarkan maka akan merugikan organisasi. Berlawanan dengan ini, pendapat lain
menyatakan bahwa jika konflik dikelola sedemikian rupa maka konflik tersebut
akan membawa keuntungan bagi kelompok dan organisasi. Stoner dan Freeman menyebut konflik tersebut
sebagai konflik organisasional (organizational conflict).
Pertentangan
pendapat ini oleh Robbins (1996:431) disebut sebagai the Conflict Paradox,
yaitu pandangan bahwa di satu sisi konflik dianggap dapat meningkatkan kinerja
kelompok, namun di sisi lain kebanyakan kelompok dan organisasi berusaha untuk
meminimalisir konflik.Dalam uraian di bawah ini disajikan beberapa pandangan
tentang konflik, sebagaimana yang dikemukakan oleh Robbins (1996:429).
a. Pandangan Tradisional (The Traditional
View).
Pandangan ini
menyatakan bahwa semua konflik itu buruk. Konflik dilihat sebagai sesuatu yang
negatif, merugikan dan harus dihindari. Untuk memperkuat konotasi negatif ini,
konflik disinonimkan dengan istilah violence, destruction, dan irrationality.
Pandangan ini konsisten dengan sikap-sikap yang dominan mengenai perilaku kelompok
dalam dasawarsa 1930-an dan 1940-an. Konflik dilihat sebagai suatu hasil
disfungsional akibat komunikasi yang buruk, kurangnya kepercayaan dan
keterbukaan di antara orang-orang, dan kegagalan manajer untuk tanggap terhadap
kebutuhan dan aspirasi karyawan.
b. Pandangan Hubungan Manusia (The Human
Relations View).
Pandangan ini
berargumen bahwa konflik merupakan peristiwa yang wajar terjadi dalam semua
kelompok dan organisasi. Konflik merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindari,
karena itu keberadaan konflik harus diterima
dan dirasionalisasikan sedemikian rupa sehingga bermanfaat bagi
peningkatan kinerja organisasi. Pandangan ini mendominasi teori konflik dari
akhir dasawarsa 1940-an sampai pertengahan 1970-an.
c. Pandangan Interaksionis (The
Interactionist View).
Pandangan ini
cenderung mendorong terjadinya konflik, atas dasar suatu asumsi bahwa kelompok
yang koperatif, tenang, damai, dan serasi, cenderung menjadi statis, apatis,
tidak aspiratif, dan tidak inovatif. Oleh karena itu, menurut aliran pemikiran
ini, konflik perlu dipertahankan pada tingkat
minimun secara berkelanjutan, sehingga kelompok tetap bersemangat
(viable), kritis-diri (self-critical), dan kreatif. Stoner dan Freeman
(1989:392) membagi pandangan tentang konflik menjadi dua bagian, yaitu
pandangan tradisional (old view) dan pandangan modern (current view).
3.
Jenis-jenis Konflik
Terdapat
berbagai macam jenis konflik, tergantung pada dasar yang digunakan untuk
membuat klasifikasi. Ada yang membagi konflik atas dasar fungsinya, ada
pembagian atas dasar pihak-pihak yang terlibat dalam konflik, dan sebagainya.
a. Konflik Dilihat dari Fungsi
Berdasarkan
fungsinya, Robbins (1996:430) membagi konflik menjadi dua macam, yaitu: konflik
fungsional (Functional Conflict) dan konflik disfungsional (Dysfunctional
Conflict). Konflik fungsional adalah konflik yang mendukung pencapaian tujuan
kelompok, dan memperbaiki kinerja kelompok. Sedangkan konflik disfungsional
adalah konflik yang merintangi pencapaian tujuan kelompok.
Menurut
Robbins, batas yang menentukan apakah suatu konflik fungsional atau
disfungsional sering tidak tegas (kabur). Suatu konflik mungkin fungsional bagi
suatu kelompok, tetapi tidak fungsional bagi kelompok yang lain. Begitu pula,
konflik dapat fungsional pada waktu tertentu, tetapi tidak fungsional di waktu
yang lain. Kriteria yang membedakan apakah suatu konflik fungsional atau
disfungsional adalah dampak konflik tersebut terhadap kinerja kelompok, bukan
pada kinerja individu. Jika konflik tersebut dapat meningkatkan kinerja
kelompok, walaupun kurang memuaskan bagi individu, maka konflik
tersebutdikatakan fungsional. Demikian sebaliknya, jika konflik tersebut hanya
memuaskan individu saja, tetapi menurunkan kinerja kelompok maka konflik
tersebut disfungsional.
b. Konflik Dilihat dari Pihak yang Terlibat
di Dalamnya
Berdasarkan
pihak-pihak yang terlibat di dalam konflik, Stoner dan Freeman (1989:393)
membagi konflik menjadi enam macam, yaitu:
1) Konflik
dalam diri individu (conflict within the individual). Konflik ini terjadi jika
seseorang harus memilih tujuan yang saling bertentangan, atau karena tuntutan
tugas yang melebihi batas kemampuannya.
2) Konflik
antar-individu (conflict among individuals). Terjadi karena perbedaan
kepribadian (personality differences) antara individu yang satu dengan individu
yang lain.
3) Konflik
antara individu dan kelompok (conflict among individuals and groups). Terjadi
jika individu gagal menyesuaikan diri dengan norma - norma kelompok tempat ia
bekerja.
4) Konflik
antar kelompok dalam organisasi yang sama (conflict among groups in the same
organization). Konflik ini terjadi karena masing - masing kelompok memiliki
tujuan yang berbeda dan masing-masing berupaya untuk mencapainya.
5) Konflik
antar organisasi (conflict among organizations). Konflik ini terjadi jika
tindakan yang dilakukan oleh organisasi menimbulkan dampak negatif bagi
organisasi lainnya. Misalnya, dalam perebutan sumberdaya yang sama.
6) Konflik
antar individu dalam organisasi yang berbeda (conflict among individuals in
different organizations). Konflik ini terjadi sebagai akibat sikap atau
perilaku dari anggota suatu organisasi yang berdampak negatif bagi anggota
organisasi yang lain. Misalnya, seorang manajer public relations yang
menyatakan keberatan atas pemberitaan yang dilansir seorang jurnalis.
c. Konflik Dilihat dari Posisi Seseorang
dalam Struktur Organisasi
Winardi
(1992:174) membagi konflik menjadi empat macam, dilihat dari posisi seseorang
dalam struktur organisasi. Keempat jenis konflik tersebut adalah sebagai
berikut:
1) Konflik
vertikal, yaitu konflik yang terjadi antara karyawan yang memiliki kedudukan
yang tidak sama dalam organisasi. Misalnya, antara atasan dan bawahan.
2) Konflik
horizontal, yaitu konflik yang terjandi antara mereka yang memiliki kedudukan
yang sama atau setingkat dalam organisasi. Misalnya, konflik antar karyawan,
atau antar departemen yang setingkat.
3) Konflik
garis-staf, yaitu konflik yang terjadi antara karyawan lini yang biasanya
memegang posisi komando, dengan pejabat staf yang biasanya berfungsi sebagai
penasehat dalam organisasi.
4) Konflik
peran, yaitu konflik yang terjadi karena seseorang mengemban lebih dari satu
peran yang saling bertentangan. Di samping klasifikasi tersebut di atas, ada
juga klasifikasi lain, misalnya yang dikemukakan oleh Schermerhorn, et al.
(1982), yang membagi konflik atas: substantive conflict, emotional conflict,
constructive conflict, dan destructive conflict.
4.
Faktor Penyebab Terjadinya Konflik
Menurut Robbins (1996), konflik muncul karena
ada kondisi yang melatar - belakanginya (antecedent conditions). Kondisi
tersebut, yang disebut juga sebagai sumber terjadinya konflik, terdiri dari
tiga ketegori, yaitu: komunikasi, struktur, dan variabel pribadi.
· Komunikasi. Komunikasi yang buruk, dalam
arti komunikasi yang menimbulkan kesalah - pahaman antara pihak-pihak yang
terlibat, dapat menjadi sumber konflik. Suatu hasil penelitian menunjukkan
bahwa kesulitan semantik, pertukaran informasi yang tidak cukup, dan gangguan
dalam saluran komunikasi merupakan penghalang terhadap komunikasi dan menjadi
kondisi anteseden untuk terciptanya konflik.
· Struktur. Istilah struktur dalam konteks
ini digunakan dalam artian yang mencakup: ukuran (kelompok), derajat
spesialisasi yang diberikan kepada anggota kelompok, kejelasan jurisdiksi
(wilayah kerja), kecocokan antara tujuan anggota dengan tujuan kelompok, gaya
kepemimpinan, sistem imbalan, dan derajat ketergantungan antara kelompok.
Penelitian menunjukkan bahwa ukuran kelompok dan derajat spesialisasi merupakan
variabel yang mendorong terjadinya konflik. Makin besar kelompok, dan makin
terspesialisasi kegiatannya, maka semakin besar pula kemungkinan terjadinya konflik.
· Variabel Pribadi. Sumber konflik lainnya
yang potensial adalah faktor pribadi, yang meliputi: sistem nilai yang dimiliki
tiap-tiap individu, karakteristik kepribadian yang menyebabkan individu
memiliki keunikan (idiosyncrasies) dan berbeda dengan individu yang lain.
Kenyataan menunjukkan bahwa tipe kepribadian tertentu, misalnya, individu yang
sangat otoriter, dogmatik, dan menghargai rendah orang lain, merupakan sumber
konflik yang potensial. Jika salah satu dari kondisi tersebut terjadi dalam
kelompok, dan para karyawan menyadari akan hal tersebut, maka muncullah
persepsi bahwa di dalam kelompok terjadi konflik. Keadaan ini disebut dengan
konflik yang dipersepsikan (perceived conflict). Kemudian jika individu
terlibat secara emosional, dan mereka merasa cemas, tegang, frustrasi, atau
muncul sikap bermusuhan, maka konflik berubah menjadi konflik yang dirasakan
(felt conflict). Selanjutnya, konflik yang telah disadari dan dirasakan
keberadaannya itu akan berubah menjadi konflik yang nyata, jika pihak-pihak
yang terlibat mewujudkannya dalam bentuk perilaku. Misalnya, serangan secara
verbal, ancaman terhadap pihak lain, serangan fisik, huru-hara, pemogokan, dan
sebagainya.
Robbins
(1996), menggambarkan tahap-tahap lahirnya konflik, sebagaimana yang diterangkan
di atas, melalui gambar sebagaimana yang disajikan di bawah ini (gambar 1).
Proses timbulnya konflik, sebagaimana yang digambarkan oleh Robbins, mirip
dengan tahap-tahap konflik yang digambarkan oleh Schermerhorn, et al.
(1982:461), seperti yang disajikan di bawah ini (gambar 2)
Berbeda
dengan Robbins yang hanya menyebut tiga factor dalam antecedent conditions,
Schermerhorn, et al. merinci antecedent conditions menjadi lima faktor, yaitu:
(1) ketidakjelasan peranan atau peranan yang mendua (role ambiguities); (2)
persaingan untuk mendapatkan sumberdaya yang terbatas; (3) rintangan-rintangan
dalam komunikasi (communication barriers); (4) konflik sebelumnya yang tidak
terselesaikan; dan (5) perbedaan-perbedaan individual, yang mencakup: perbedaan
kebutuhan, nilai-nilai, dan perbedaan tujuan.
· Perbedaan individu, yang meliputi
perbedaan pendirian dan perasaan.
Setiap
manusia adalah individu yang unik. Artinya, setiap orang memiliki pendirian dan
perasaan yang berbeda-beda satu dengan lainnya. Perbedaan pendirian dan
perasaan akan sesuatu hal atau lingkungan yang nyata ini dapat menjadi faktor
penyebab konflik sosial, sebab dalam menjalani hubungan sosial, seseorang tidak
selalu sejalan dengan kelompoknya. Misalnya, ketika berlangsung pentas musik di
lingkungan pemukiman, tentu perasaan setiap warganya akan berbeda-beda. Ada
yang merasa terganggu karena berisik, tetapi ada pula yang merasa terhibur.
· Perbedaan latar belakang kebudayaan sehingga
membentuk pribadi-pribadi yang berbeda.
Seseorang sedikit
banyak akan terpengaruh dengan pola-pola pemikiran dan pendirian kelompoknya.
Pemikiran dan pendirian yang berbeda itu pada akhirnya akan menghasilkan
perbedaan individu yang dapat memicu konflik.
· Perbedaan kepentingan antara individu
atau kelompok.
Manusia
memiliki perasaan, pendirian maupun latar belakang kebudayaan yang berbeda.
Oleh sebab itu, dalam waktu yang bersamaan, masing-masing orang atau kelompok
memiliki kepentingan yang berbeda-beda. Kadang-kadang orang dapat melakukan hal
yang sama, tetapi untuk tujuan yang berbeda-beda. Sebagai contoh, misalnya
perbedaan kepentingan dalam hal pemanfaatan hutan. Para tokoh masyarakat
menanggap hutan sebagai kekayaan budaya yang menjadi bagian dari kebudayaan
mereka sehingga harus dijaga dan tidak boleh ditebang. Para petani menbang
pohon-pohon karena dianggap sebagai penghalang bagi mereka untuk membuat kebun
atau ladang. Bagi para pengusaha kayu, pohon-pohon ditebang dan kemudian
kayunya diekspor guna mendapatkan uang dan membuka pekerjaan. Sedangkan bagi
pecinta lingkungan, hutan adalah bagian dari lingkungan sehingga harus
dilestarikan. Di sini jelas terlihat ada perbedaan kepentingan antara satu
kelompok dengan kelompok lainnya sehingga akan mendatangkan konflik sosial di
masyarakat. Konflik akibat perbedaan kepentingan ini dapat pula menyangkut
bidang politik,ekonomi, sosial, dan budaya. Begitu pula dapat terjadi antar
kelompok atau antara kelompok dengan individu, misalnya konflik antara kelompok
buruh dengan pengusaha yang terjadi karena perbedaan kepentingan di antara
keduanya. Para buruh menginginkan upah yang memadai, sedangkan pengusaha
menginginkan pendapatan yang besar untuk dinikmati sendiri dan memperbesar
bidang serta volume usaha mereka.
·
Perubahan-perubahan nilai yang cepat dan mendadak dalam masyarakat.
Perubahan
adalah sesuatu yang lazim dan wajar terjadi, tetapi jika perubahan itu
berlangsung cepat atau bahkan mendadak, perubahan tersebut dapat memicu
terjadinya konflik sosial. Misalnya, pada masyarakat pedesaan yang mengalami
proses industrialisasi yang mendadak akan memunculkan konflik sosial sebab
nilai-nilai lama pada masyarakat tradisional yang biasanya bercorak pertanian
secara cepat berubah menjadi nilai-nilai masyarakat industri. Nilai-nilai yang
berubah itu seperti nilai kegotongroyongan berganti menjadi nilai kontrak kerja
dengan upah yang disesuaikan menurut jenis pekerjaannya. Hubungan kekerabatan
bergeser menjadi hubungan struktural yang disusun dalam organisasi formal
perusahaan. Nilai-nilai kebersamaan berubah menjadi individualis dan
nilai-nilai tentang pemanfaatan waktu yang cenderung tidak ketat berubah
menjadi pembagian waktu yang tegas seperti jadwal kerja dan istirahat dalam
dunia industri. Perubahan-perubahan ini, jika terjadi seara cepat atau mendadak,
akan membuat kegoncangan proses-proses sosial di masyarakat, bahkan akan
terjadi upaya penolakan terhadap semua bentuk perubahan karena dianggap
mengacaukan tatanan kehiodupan masyarakat yang telah ada.
Referensi :
Komentar
Posting Komentar